Suatu hari, pemuda yang dikisahkan bernama Tsabit bin Zutho tersebut sedang berjalan di pinggiran Kota Kufah, Irak. Terdapat sungai yang jernih dan menyejukkan di sana. Tiba-tiba, sebuah apel segar tampak hanyut di sungai itu. Dalam kondisi yang lapar, Tsabit pun memungut apel tersebut. Rezeki yang datang tiba-tiba, sebuah apel datang tanpa diduga di saat yang tepat.
Allah berfirman :
kondisi yang lapar, Tsabit pun memungut apel tersebut. Rezeki yang datang tiba-tiba, sebuah apel datang tanpa diduga di saat yang tepat.
Tanpa pikir panjang, ia pun memakannya, mengisi perutnya yang keroncongan. Baru segigit menikmati apel merah nan manis itu, Tsabit tersentak. Milik siapa apel ini? bisiknya dalam hati. Meski menemukannya di jalanan, Tsabit merasa bersalah memakan apel tanpa izin empunya. Bagaimanapun juga, pikir Tsabit, buah apel dihasilkan sebuah pohon yang ditanam seseorang. '”Bagaimana bisa aku memakan sesuatu yang bukan milikku,” kata Tsabit menyesal.
Ia pun kemudian menyusuri sungai. Dari manakah aliran air membawa apel segar itu? Tsabit berpikir akan bertemu dengan pemilik buah dan meminta kerelaannya atas apel yang sudah digigitnya itu.
Cukup jauh Tsabit menyusuri aliran sungai hingga ia melihat sebuah kebun apel. Beberapa pohon apel tumbuh subur di samping sungai. Rantingnya menjalar dekat sungai. Tak mengherankan jika buahnya sering kali jatuh ke sungai dan hanyut terbawa arus air.
Tsabit pun segera mencari pemilik kebun. Ia mendapati seseorang tengah menjaga kebun apel tersebut. Tsabit menghampirinya seraya berkata, “Wahai hamba Allah, apakah apel ini berjenis sama dengan apel di kebun ini? Saya sudah mengigit apel ini, apa kau memaafkan saya?” kata Tsabit sembari menunjukkan apel yang telah dimakan segigit itu.
Namun, penjaga kebun itu menjawab, “Saya bukan pemilik kebun apel ini. Bagaimana saya dapat memaafkanmu, sementara saya bukan pemiliknya? Pemilik kebunlah yang berhak memaafkanmu.” Lalu, penjaga kebun itu pun berkata, “Rumahnya (pemilik kebun apel) cukup jauh, sekitar lima mil dari sini.”
Walau harus menempuh jarak sekitar delapan kilometer, Tsabit tak putus asa untuk mencari keridaan pemilik apel. Akhirnya, ia sampai di sebuah rumah dengan perasaan gelisah, apakah si pemilik kebun akan memaafkannya. Tsabit merasa takut sang pemilik tak meridai apelnya yang telah jatuh ke sungai digigit olehnya.
Mengetuk pintu, Tsabit mengucapkan salam. Seorang pria tua, si pemilik kebun apel, membuka pintu.
“Wahai hamba Allah, saya datang ke sini karena saya telah menemukan sebuah apel dari kebun Anda di sungai, kemudian saya memakannya. Saya datang untuk meminta kerelaan Anda atas apel ini. Apakah Anda meridainya? Saya telah mengigitnya dan ini yang tersisa,” ujar Tsabit memegang apel yang digigitnya.
Agak lama pemilik kebun apel itu terdiam mendengar ucapan Tsabit. Lalu, Tsabit pun tersentak ketika sang tuan rumah berkata, “Tidak, saya tidak merelakanmu, Nak!”
Penasaran dengan pemilik kebun apel yang mempermasalahkan satu butir apel, Tsabit menanyakan apa yang harus ia lakukan agar tindakannya itu dimaafkan. “Aku tidak memaafkanmu, demi Allah, kecuali jika kau memenuhi persyaratanku,” kata pria tua itu.
“Persyaratan apa itu?” tanya Tsabit harap-harap cemas.
“Kau harus menikahi putriku.”
Menikahi seorang wanita bukanlah sebuah hukuman, pikir Tsabit. “Benarkah itu yang menjadi syarat Anda? Anda memaafkan saya dan saya menikahi putri Anda? Itu adalah anugerah yang besar,” tanya Tsabit tak percaya.
Begitu terperanjatnya Tsabit ketika pemilik kebun itu berkata bahwa putrinya yang harus Tsabit nikahi merupakan wanita cacat. “Putriku itu buta, tuli, bisu, dan lumpuh. Tak mampu berjalan, apalagi berdiri. Kalau kau menerimanya maka saya akan memaafkanmu, Nak,” kata pria tua.
Syarat yang mungkin sulit masuk di akal, hukuman yang harus ditanggung Tsabit hanya karena mengigit sebutir apel yang temukan di sungai. Namun, hal yang lebih mengejutkan, Tsabit menerima syarat tersebut karena merasa tak memiliki pilihan lain.
Sementara, ia tak ingin berdosa mengambil hak yang bukan miliknya. Tsabit, seorang pemuda tampan, harus menikahi wanita cacat hanya karena menemukan sebuah apel.
“Datanglah ba’da Isya untuk berjumpa dengan istrimu,” kata pemilik kebun.
***
Malam hari usai shalat Isya, Tsabit pun menemui calon istrinya yang cacat. Ia masuk ke kamar pengantin wanita dengan langkah yang berat.
Hatinya dipenuhi pergolakan luar biasa, namun pemuda gagah itu tetap bertekad memenuhi syarat sang pemilik apel. Tsabit pun mengucapkan salam seraya masuk ke kamar istrinya.
Betapa terkejutnya Tsabit ketika mendengar jawaban salam dari wanita yang suaranya lembut nan merdu. Tak hanya itu, wanita itu mampu berdiri dan menghampiri Tsabit.
Begitu cantik paras si wanita, tanpa cacat apa pun di anggota tubuhnya yang lengkap. Tsabit kebingungan, ia berpikir salah memasuki kamar dan salah menemui wanita yang seharusnya merupakan istrinya yang buta, tuli, bisu, dan lumpuh.
Tak percaya, Tsabit pun mempertanyakan si gadis bak bidadari tersebut. Namun, Tsabit tidak salah, ialah putri pemilik kebun apel yang dinikahkan dengannya. “Apa yang dikatakan ayah tentang aku?” tanya si gadis mendapati suaminya mempertanyakan dirinya seolah tak percaya.
“Ayahmu berkata kau adalah seorang gadis buta,” kata Tsabit.
“Demi Allah, ayahku berkata jujur, aku buta karena aku tidak pernah melihat sesuatu yang dimurkai Allah,” jawab si gadis membuat Tsabit kagum.
“Ayahmu juga berkata bahwa kau bisu,” ujar Tsabit masih dalam nada heran.
“Ya benar, aku tidak pernah mengucapkan satu kalimat pun yang membuat Allah murka,” kata si gadis.
“Tapi, Ayahmu mengatakan, kamu bisu dan tuli.”
“Ayahku benar, demi Allah. Aku tidak pernah mendengar satu kalimat pun, kecuali di dalamnya terdapat rida Allah.”
“Tapi, ayahmu juga bilang bahwa kau lumpuh.”
“Ya, ayah benar dan tidak berdusta. Aku tidak pernah melangkahkan kakiku ke tempat yang Allah murkai,” ujar si gadis yang membuat Tsabit begitu terpesona.
Tsabit memandangi istrinya yang cantik jelita itu. Ia pun mengucapkan syukur.
Sang pemilik kebun kagum dengan sifat kehati-hatian Tsabit dalam memakan sesuatu hingga jelas kehalalannya.
Melihat kegigihan dan kesalehan Tsabit, ia pun berkeinginan menjadikannya menantu, menikahkannya dengan putrinya yang salehah.
Dari pernikahan tersebut, lahir seorang ulama shalih, mujadid yang sangat terkenal, yakni Nu’man bin Tsabit atau yang lebih dikenal dengan nama Al-Imam Abu Hanifah.
Bersama istrinya yang salehah, Tsabit mendidik putranya menjadi salah satu imam besar dari empat madzab.
Kisah pemuda yang bukan lain adalah ayah dari Imam Abu Hanifah tersebut terdapat dalam kitab terkenal “Al-Aghani” karya Abu Al-Faraj Al-Isbahani.
Buku terkenal dalam kesusastraan Arab tersebut berisi tentang sajak lagu serta informasi biografi dari tokoh-tokoh Islam terdahulu, para tabi’in dan tabi’ut tabi’in di masa Dinasti Umayyah dan Abbasiyyah.
Sebagaimana diketahui, Abu Hanifah merupakan ulama cerdas ahli fikih dan ahli ra’yi, pelopor mazhab Hanafi. Ia lahir di Kufah, ibukota Dinasti Umayyah, pada 80 hijriah atau 699 masehi. Kitabnya yang terkenal, yakni “Kitabul-Athar” dan “Fiqh al-Akbar”, yang hingga kini menjadi rujukan hukum fikih bagi para pengikut madzhab Hanafi di seluruh dunia.
Dalam mempelajari hadis, Abu Hanifah sempat bertemu dengan sahabat Rasulullah, Anas bin Malik, yang wafat tahun 93 hijriah. Di masa remajanya, Abu Hanifah menghabiskan waktu untuk mempelajari hadis Rasulullah.
Saat ini, mazhab Hanafi merupakan satu dari empat mazhab yang paling banyak dianut Muslim Sunni di dunia. Mazhab tersebut juga menjadi dasar kekhalifahan masa Dinasti Abbasiyyah dan Turki Usmani, serta dianut oleh Kekaisaran Mughal di India.
Di era sekarang, mazhab Hanafi banyak digunakan Muslim di beberapa negara Timur Tengah dan Asia Selatan, seperti Turki, Afghanistan, India, Pakistan, Bangladesh, serta di Suriah, Lebanon, Turki, Iran, Irak, dan Palestina.
MENINGGALKAN SYUBHAT
Banyak hikmah yang dapat dipetik dari Kisah Pemuda dan Buah Apel tersebut. Di antaranya, meninggalkan syubhat, yakni perkara yang samar dan meragukan.
Sang pemuda, Tsabit, meragukan kehalalan apel yang didapatkannya tanpa membeli, menanam, atau pun dari pemberian.
Ia pun meyakinkan kehalalan terhadap apa yang dimakannya tersebut dengan meminta keridaan sang pemilik.
Tsabit sangat berhati-hati terhadap apa yang ia masukkan ke perutnya. Meski menemukannya di jalan yang seharusnya tak lagi dimiliki orang lain, Tsabit merasa ragu ia akan melanggar hak kepemilikan si pemilik kebun.
Ia takut bahwa memakan harta orang lain dapat membawa kemurkaan Allah. Maka, Tsabit pun meminta izin dari sang pemilik apel.
Allah dalam firmannya pun telah mewanti-wanti Muslimin agar tak terhanyut dengan perkara syubhat. Pasalnya, syubhat sering kali membawa seseorang terjatuh pada keharaman karena meremehkan perkara tersebut.
“Katakanlah, tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu. Maka bertakwalah kepada Allah hai orang-orang berakal agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS al-Maidah: 100).
Rasulullah pun menyebutkan dalam hadis An-Nu’man bin Basyir, “Siapa yang terjatuh ke dalam syubhat (perkara yang samar), berarti dia jatuh ke dalam perkara yang haram,” sabda Rasul.
Dalam hadis yang lain, Rasulullah juga memerintahkan Muslimin agar meninggalkan segala perkara syubhat. “Tinggalkan apa yang meragukanmu kepada apa yang tidak meragukanmu!”
Seringkali kita lalai pada perkara syubhat dan tanpa sadar jatuh pada keharaman. Bahkan, tak sedikit pula yang justru dengan sadar melakukan perbuatan yang diharamkan.
Dari kisah ini, dapat diambil pelajaran agar berhati-hati dan menjauhkan diri dari segala perkara haram dan syubhat. Setiap Muslim hendaknya melakukan sesuatu yang telah jelas kehalalannya. Setiap makanan, pakaian, harta harus dipastikan kehalalannya.
Selain itu, terdapat hikmah lain yang dapat kita petik dari kisah Tsabit dan gadis yang salehah, yakni pria saleh akan mendapat atau berjodoh dengan wanita yang salehah, demikian pula sebaliknya.
Tsabit seorang pemuda saleh yang tanpa diduga ia pun menikahi wanita yang sangat salehah.
Wallahu a’lam bisshowab.
(islam-channel.blogspot.com)
“Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah untuk wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik ,dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula)...,” demikian (QS. An Nur: 26).لْخَبِيثَاتُ لِلْخَبِيثِينَ وَالْخَبِيثُونَ لِلْخَبِيثَاتِ ۖ وَالطَّيِّبَاتُ لِلطَّيِّبِينَ وَالطَّيِّبُونَ لِلطَّيِّبَاتِ ۚ أُولَٰئِكَ مُبَرَّءُونَ مِمَّا يَقُولُونَ ۖ لَهُم مَّغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ
Ilustrasi-Pemuda dan Buah Apel (sae-sinau.blogspot.com) |
Tanpa pikir panjang, ia pun memakannya, mengisi perutnya yang keroncongan. Baru segigit menikmati apel merah nan manis itu, Tsabit tersentak. Milik siapa apel ini? bisiknya dalam hati. Meski menemukannya di jalanan, Tsabit merasa bersalah memakan apel tanpa izin empunya. Bagaimanapun juga, pikir Tsabit, buah apel dihasilkan sebuah pohon yang ditanam seseorang. '”Bagaimana bisa aku memakan sesuatu yang bukan milikku,” kata Tsabit menyesal.
Ia pun kemudian menyusuri sungai. Dari manakah aliran air membawa apel segar itu? Tsabit berpikir akan bertemu dengan pemilik buah dan meminta kerelaannya atas apel yang sudah digigitnya itu.
Cukup jauh Tsabit menyusuri aliran sungai hingga ia melihat sebuah kebun apel. Beberapa pohon apel tumbuh subur di samping sungai. Rantingnya menjalar dekat sungai. Tak mengherankan jika buahnya sering kali jatuh ke sungai dan hanyut terbawa arus air.
Tsabit pun segera mencari pemilik kebun. Ia mendapati seseorang tengah menjaga kebun apel tersebut. Tsabit menghampirinya seraya berkata, “Wahai hamba Allah, apakah apel ini berjenis sama dengan apel di kebun ini? Saya sudah mengigit apel ini, apa kau memaafkan saya?” kata Tsabit sembari menunjukkan apel yang telah dimakan segigit itu.
Namun, penjaga kebun itu menjawab, “Saya bukan pemilik kebun apel ini. Bagaimana saya dapat memaafkanmu, sementara saya bukan pemiliknya? Pemilik kebunlah yang berhak memaafkanmu.” Lalu, penjaga kebun itu pun berkata, “Rumahnya (pemilik kebun apel) cukup jauh, sekitar lima mil dari sini.”
Walau harus menempuh jarak sekitar delapan kilometer, Tsabit tak putus asa untuk mencari keridaan pemilik apel. Akhirnya, ia sampai di sebuah rumah dengan perasaan gelisah, apakah si pemilik kebun akan memaafkannya. Tsabit merasa takut sang pemilik tak meridai apelnya yang telah jatuh ke sungai digigit olehnya.
Mengetuk pintu, Tsabit mengucapkan salam. Seorang pria tua, si pemilik kebun apel, membuka pintu.
“Wahai hamba Allah, saya datang ke sini karena saya telah menemukan sebuah apel dari kebun Anda di sungai, kemudian saya memakannya. Saya datang untuk meminta kerelaan Anda atas apel ini. Apakah Anda meridainya? Saya telah mengigitnya dan ini yang tersisa,” ujar Tsabit memegang apel yang digigitnya.
Agak lama pemilik kebun apel itu terdiam mendengar ucapan Tsabit. Lalu, Tsabit pun tersentak ketika sang tuan rumah berkata, “Tidak, saya tidak merelakanmu, Nak!”
Penasaran dengan pemilik kebun apel yang mempermasalahkan satu butir apel, Tsabit menanyakan apa yang harus ia lakukan agar tindakannya itu dimaafkan. “Aku tidak memaafkanmu, demi Allah, kecuali jika kau memenuhi persyaratanku,” kata pria tua itu.
“Persyaratan apa itu?” tanya Tsabit harap-harap cemas.
“Kau harus menikahi putriku.”
Menikahi seorang wanita bukanlah sebuah hukuman, pikir Tsabit. “Benarkah itu yang menjadi syarat Anda? Anda memaafkan saya dan saya menikahi putri Anda? Itu adalah anugerah yang besar,” tanya Tsabit tak percaya.
Begitu terperanjatnya Tsabit ketika pemilik kebun itu berkata bahwa putrinya yang harus Tsabit nikahi merupakan wanita cacat. “Putriku itu buta, tuli, bisu, dan lumpuh. Tak mampu berjalan, apalagi berdiri. Kalau kau menerimanya maka saya akan memaafkanmu, Nak,” kata pria tua.
Syarat yang mungkin sulit masuk di akal, hukuman yang harus ditanggung Tsabit hanya karena mengigit sebutir apel yang temukan di sungai. Namun, hal yang lebih mengejutkan, Tsabit menerima syarat tersebut karena merasa tak memiliki pilihan lain.
Sementara, ia tak ingin berdosa mengambil hak yang bukan miliknya. Tsabit, seorang pemuda tampan, harus menikahi wanita cacat hanya karena menemukan sebuah apel.
“Datanglah ba’da Isya untuk berjumpa dengan istrimu,” kata pemilik kebun.
***
Malam hari usai shalat Isya, Tsabit pun menemui calon istrinya yang cacat. Ia masuk ke kamar pengantin wanita dengan langkah yang berat.
Hatinya dipenuhi pergolakan luar biasa, namun pemuda gagah itu tetap bertekad memenuhi syarat sang pemilik apel. Tsabit pun mengucapkan salam seraya masuk ke kamar istrinya.
Betapa terkejutnya Tsabit ketika mendengar jawaban salam dari wanita yang suaranya lembut nan merdu. Tak hanya itu, wanita itu mampu berdiri dan menghampiri Tsabit.
Begitu cantik paras si wanita, tanpa cacat apa pun di anggota tubuhnya yang lengkap. Tsabit kebingungan, ia berpikir salah memasuki kamar dan salah menemui wanita yang seharusnya merupakan istrinya yang buta, tuli, bisu, dan lumpuh.
Tak percaya, Tsabit pun mempertanyakan si gadis bak bidadari tersebut. Namun, Tsabit tidak salah, ialah putri pemilik kebun apel yang dinikahkan dengannya. “Apa yang dikatakan ayah tentang aku?” tanya si gadis mendapati suaminya mempertanyakan dirinya seolah tak percaya.
“Ayahmu berkata kau adalah seorang gadis buta,” kata Tsabit.
“Demi Allah, ayahku berkata jujur, aku buta karena aku tidak pernah melihat sesuatu yang dimurkai Allah,” jawab si gadis membuat Tsabit kagum.
“Ayahmu juga berkata bahwa kau bisu,” ujar Tsabit masih dalam nada heran.
“Ya benar, aku tidak pernah mengucapkan satu kalimat pun yang membuat Allah murka,” kata si gadis.
“Tapi, Ayahmu mengatakan, kamu bisu dan tuli.”
“Ayahku benar, demi Allah. Aku tidak pernah mendengar satu kalimat pun, kecuali di dalamnya terdapat rida Allah.”
“Tapi, ayahmu juga bilang bahwa kau lumpuh.”
“Ya, ayah benar dan tidak berdusta. Aku tidak pernah melangkahkan kakiku ke tempat yang Allah murkai,” ujar si gadis yang membuat Tsabit begitu terpesona.
Tsabit memandangi istrinya yang cantik jelita itu. Ia pun mengucapkan syukur.
Sang pemilik kebun kagum dengan sifat kehati-hatian Tsabit dalam memakan sesuatu hingga jelas kehalalannya.
Melihat kegigihan dan kesalehan Tsabit, ia pun berkeinginan menjadikannya menantu, menikahkannya dengan putrinya yang salehah.
Dari pernikahan tersebut, lahir seorang ulama shalih, mujadid yang sangat terkenal, yakni Nu’man bin Tsabit atau yang lebih dikenal dengan nama Al-Imam Abu Hanifah.
Bersama istrinya yang salehah, Tsabit mendidik putranya menjadi salah satu imam besar dari empat madzab.
Kisah pemuda yang bukan lain adalah ayah dari Imam Abu Hanifah tersebut terdapat dalam kitab terkenal “Al-Aghani” karya Abu Al-Faraj Al-Isbahani.
Buku terkenal dalam kesusastraan Arab tersebut berisi tentang sajak lagu serta informasi biografi dari tokoh-tokoh Islam terdahulu, para tabi’in dan tabi’ut tabi’in di masa Dinasti Umayyah dan Abbasiyyah.
Sebagaimana diketahui, Abu Hanifah merupakan ulama cerdas ahli fikih dan ahli ra’yi, pelopor mazhab Hanafi. Ia lahir di Kufah, ibukota Dinasti Umayyah, pada 80 hijriah atau 699 masehi. Kitabnya yang terkenal, yakni “Kitabul-Athar” dan “Fiqh al-Akbar”, yang hingga kini menjadi rujukan hukum fikih bagi para pengikut madzhab Hanafi di seluruh dunia.
Dalam mempelajari hadis, Abu Hanifah sempat bertemu dengan sahabat Rasulullah, Anas bin Malik, yang wafat tahun 93 hijriah. Di masa remajanya, Abu Hanifah menghabiskan waktu untuk mempelajari hadis Rasulullah.
Saat ini, mazhab Hanafi merupakan satu dari empat mazhab yang paling banyak dianut Muslim Sunni di dunia. Mazhab tersebut juga menjadi dasar kekhalifahan masa Dinasti Abbasiyyah dan Turki Usmani, serta dianut oleh Kekaisaran Mughal di India.
Di era sekarang, mazhab Hanafi banyak digunakan Muslim di beberapa negara Timur Tengah dan Asia Selatan, seperti Turki, Afghanistan, India, Pakistan, Bangladesh, serta di Suriah, Lebanon, Turki, Iran, Irak, dan Palestina.
MENINGGALKAN SYUBHAT
Banyak hikmah yang dapat dipetik dari Kisah Pemuda dan Buah Apel tersebut. Di antaranya, meninggalkan syubhat, yakni perkara yang samar dan meragukan.
Sang pemuda, Tsabit, meragukan kehalalan apel yang didapatkannya tanpa membeli, menanam, atau pun dari pemberian.
Ia pun meyakinkan kehalalan terhadap apa yang dimakannya tersebut dengan meminta keridaan sang pemilik.
Tsabit sangat berhati-hati terhadap apa yang ia masukkan ke perutnya. Meski menemukannya di jalan yang seharusnya tak lagi dimiliki orang lain, Tsabit merasa ragu ia akan melanggar hak kepemilikan si pemilik kebun.
Ia takut bahwa memakan harta orang lain dapat membawa kemurkaan Allah. Maka, Tsabit pun meminta izin dari sang pemilik apel.
Allah dalam firmannya pun telah mewanti-wanti Muslimin agar tak terhanyut dengan perkara syubhat. Pasalnya, syubhat sering kali membawa seseorang terjatuh pada keharaman karena meremehkan perkara tersebut.
“Katakanlah, tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu. Maka bertakwalah kepada Allah hai orang-orang berakal agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS al-Maidah: 100).
Rasulullah pun menyebutkan dalam hadis An-Nu’man bin Basyir, “Siapa yang terjatuh ke dalam syubhat (perkara yang samar), berarti dia jatuh ke dalam perkara yang haram,” sabda Rasul.
Dalam hadis yang lain, Rasulullah juga memerintahkan Muslimin agar meninggalkan segala perkara syubhat. “Tinggalkan apa yang meragukanmu kepada apa yang tidak meragukanmu!”
Seringkali kita lalai pada perkara syubhat dan tanpa sadar jatuh pada keharaman. Bahkan, tak sedikit pula yang justru dengan sadar melakukan perbuatan yang diharamkan.
Dari kisah ini, dapat diambil pelajaran agar berhati-hati dan menjauhkan diri dari segala perkara haram dan syubhat. Setiap Muslim hendaknya melakukan sesuatu yang telah jelas kehalalannya. Setiap makanan, pakaian, harta harus dipastikan kehalalannya.
Selain itu, terdapat hikmah lain yang dapat kita petik dari kisah Tsabit dan gadis yang salehah, yakni pria saleh akan mendapat atau berjodoh dengan wanita yang salehah, demikian pula sebaliknya.
Tsabit seorang pemuda saleh yang tanpa diduga ia pun menikahi wanita yang sangat salehah.
Wallahu a’lam bisshowab.
(islam-channel.blogspot.com)
COMMENTS